![]() |
Gambar: istimewah |
JAKARTA, 30 April 2025 — Di tengah gelombang ketidakpastian global dan derasnya arus legislasi nasional, BARAK 106 menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Reformasi Hukum dan Masa Depan Keadilan Sosial: Menakar Masa Depan Pekerja di Era Ketidakpastian Global dan Gelombang Legislasi”. Diskusi ini diselenggarakan di JSI Foodcourt Matraman dan dihadiri oleh peserta dari berbagai latar belakang aktivis dan organisasi.
Dua narasumber utama dalam diskusi ini adalah Rivaldi Aryo Seno, Sekretaris Jenderal Komite Politik Nasional Partai Buruh, dan Edgard Jhosua, Kepala Badan Kajian Strategis DPP GMNI. Keduanya menyoroti kondisi pekerja di Indonesia dalam lanskap ekonomi global yang semakin tidak stabil dan rezim legislasi nasional yang kian menjauh dari semangat keadilan sosial.
Dalam pemaparannya, Rivaldi menekankan bahwa gelombang PHK massal di sektor ekspor padat karya seperti tekstil dan alas kaki merupakan dampak dari kebijakan tarif resiprokal pasca-pandemi dan ketidakpastian geopolitik global, terutama antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Ia menyoroti kegagalan kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi yang bersandar pada neoliberalisme: UU Cipta Kerja, kenaikan PPN, dan liberalisasi impor.
“Jatuhnya 9 juta orang dari kelas menengah ke bawah adalah alarm bahaya dari neoliberalisme,” ujar Rivaldi. Ia juga menggarisbawahi bahwa Partai Buruh lahir dari kesadaran bahwa perjuangan ekonomi tidak cukup—diperlukan perjuangan politik melalui partai sebagai alat kelas pekerja.
Rivaldi menyerukan reformasi struktural, antara lain: Renegosiasi utang negara untuk menekan beban bunga yang menggerus APBN.
Reformasi perpajakan sektor perkebunan sawit, yang selama ini tak tersentuh pajak secara optimal.
Indutrialisasi dan hilirisasi nasional yang memberi nilai tambah maksimal untuk dalam negeri. Legislasi progresif melalui UU Ketenagakerjaan baru, UU Perampasan Aset, dan revisi sistem politik untuk membuka ruang politik kerakyatan.
![]() |
Foto: Diskusi Publik BARAK 106 |
Sementara itu, Edgard Jhosua menyoroti fenomena #KaburAjaDulu sebagai refleksi krisis struktural dalam sistem sosial-ekonomi nasional. “Ini bukan sekadar frustasi. Ini adalah protes senyap atas ketidakadilan sistemik,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa ketegangan geopolitik global seperti perang dagang AS-Tiongkok, konflik Rusia-Ukraina, dan kebangkitan proteksionisme telah menciptakan tatanan dunia baru yang semakin menekan negara-negara berkembang. Indonesia, yang terlalu bergantung pada investasi asing, menjadi rentan terhadap guncangan global.
“Dalam logika neoliberal, buruh bukan manusia, tapi angka dalam neraca biaya. Kita harus balikkan narasi itu,” tegasnya. Ia menyerukan Marhaenisme sebagai jalan keluar—di mana buruh diposisikan sebagai subjek pembangunan yang berdaulat atas alat dan hasil kerjanya.
Diskusi menghasilkan tujuh poin rekomendasi terhadap gelombang legislasi nasional, yaitu:
1. Legislasi hukum harus berpihak pada rakyat pekerja, bukan alat represi.
2. Jaminan kebebasan berserikat dan aksi kolektif.
3. Penolakan terhadap militerisasi kehidupan sipil.
4. Pelibatan serikat buruh dalam setiap proses legislasi ketenagakerjaan.
5. Evaluasi menyeluruh terhadap implementasi UU eksisting seperti UU Ciptaker.
6. Penegakan hukum yang transparan dan humanis.
7. Moratorium pembahasan RUU yang belum melibatkan publik secara luas.
Diskusi ini menjadi pengingat bahwa keadilan sosial dan perlindungan terhadap pekerja harus menjadi prioritas dalam setiap rancangan kebijakan hukum dan ekonomi nasional.